MAKALAH NUZULUL QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab yang sangat
penting bagi manusia di seluruh dunia terutama bagi umat islam. Didalamnya
terdapat banyak sekali pelajaran hidup yang dapat kita kaji, bahkan saat ini
banyak sekali orang-orang diberbagai belahan dunia sedang mempelajarinya.
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan
ke dunia menyimpan berjuta rahasia. Banyak rahasia yang belum terungkap sampai
sekarang sehingga masih menjadi perdebatan para ulama’ dan menjadi mesteri yang
belum mampu sepenuhnya terungkap.
Dan alangkah baiknya, sebelum
mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu yang terkandung didalam Al-Qur’an, kita harus
mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah dan awal mula Al-Qur’an
diturukan kepada Nabi Muhamad, tahapan-tahapan al-qur’an itu diturunkan
kepada Nabi Muhammad.
Oleh karena itu dalam makalah ini
akan menguraikan peristiwa tentang nuzulul qur’an.[1]
1. Apa pengertian nuzulul qur’an?
2. Bagaimana sejarah nuzulul qur’an?
3. Bagaimana proses penurunan Al-Qur’an?
4. Bagaimana pelestarian Al-Qur’an pada masa nabi Muhammad SAW?
5. Bagaimana penulisan Al-Qur’an pada masa sahabat dan pelestariannya pada masa selanjutnya?
6. Bagaimana percetakan Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzul Al-Qur’an atau yang di
Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Qur’an.
Kata nazala di dalam bahasa Arab berarti “meluncur dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah.” Dalam konteks ini, misalnya, bias ditemui
kalimat di dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَقُلْ رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلًا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ
الْمُنْزِلِينَ ْ
“…Tuhan, turunkanlah padaku sesuatu berkah, karena
Engkau adalah Zat pemberi berkah yang paling baik.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 29)
Di dalam hubungannya dengan
pembahasan Nuzul Al-Qur’an, kata Syekh Abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan di
dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-Nya, yang dimaksud
dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang
lebih rendah dan sesuatu itu tidak lain adalah Al-Qur’an. Hanya kemudian Syekh
Gazlan berkomentar, “Oleh karena yang turun itu bukan berbentuk fisik, maka
pengertian nuzul di sini bisa mengandung pengertian kiasan (majazi),
dan apabila yang dimaksud turun adalah lafaz, maka nuzul berartiAl-Ishal (penyampaian)
dan Al-I’lam (penginformasian).” [2]
Dr. Ahmad as Sayyid al Kumi dan
Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al Qasim mengatakan, bahwa nuzul mempunyai
lima makna yakni:
1. Meluncurnya sesuatu dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah
2. Jatuh, tiba, singgah
3. Tertib, teratur, urutan
4. Pertemuan
B. Sejarah Nuzulul Qur’an
1. Hari Pertama Al-qur’an Diturunkan dan Tempatnya
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada
Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di gua Hira pada malam Senin,
bertepatan dengan tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi
Muhammad SAW (6 Agustus 610 M). Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran
Al-Qur’an, Allah menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu
suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Qur’an sendiri.
Tidak ada perselisihan di antara
para ulama dalam menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan di malam bulan Ramadhan.
Ketetapan ini ditegaskan juga dalam Al-Qur’an sendiri. Semua ulama sepakat
menetapkan yang demikian, hanya mereka berlainan pendapat tentang tanggalnya.
Ibnu Ishaq seorang pujangga tarikh
Islam yang ternama menetapkan bahwa malam itu adalah malam tujuh belas
Ramadhan. Penetapan ini dapat dikuatkan dengan isyarat Al-Qur’an sendiri:
Firman Allah:
إنْ كُنْتُمْ
آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ
يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ْ
“…Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada
sesuatu yang telah Kami turunkan kepada
hamba Kami pada hari Al-Furqan, hari bertemu dua pasukan.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 41 )
Dikehendaki dengan hari bertemu
dua pasukan adalah hari bertemu tentara Islam dengan tentara Quraisy dalam
pertempuran Badar. Yang demikian itu tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan
tahun yang kedua Hijrah. Dan hari Furqan ialah hari permulaan diturunkan
Al-Qur’an. Maka kedua hari itu bersatu sifatnya yaitu sama-sama pada hari
Jum’at tujuh belas Ramadhan walaupun tidak dalam setahun.
Menurut hadits Bukhary dari Aisyah
r.a. berkata: “Permulaan wahyu yang diterima Rasulullah ialah mimpi yang benar.
Beliau bermimpi seakan-akan melihat sinaran subuh dan terjadi persis seperti
yang dimimpikan.”
Sesudah itu beliau mulai gemar
ber-khilwat. Beliau ber-khalwat di gua Hira, beribadah beberapa malam,
sebelum beliau kembali kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Sesudah
beberapa malam beliau berada dalam gua, beliau kembali kepada Khadijah sekedar
untuk mengambil makanan untuk beberapa hari. Beliau terus berbuat demikian
sampai datanglah haq (kebenaran) kepadanya. Malaikat datang
kepadanya lalu berkata: “iqra’ (bacalah ini).” Nabi menjawab: “saya
tidak pandai membaca.” Nabi menerangkan : “ Mendengar jawaban itu, malaikat pun
memelukku sampai aku terasa kepayahan karena kerasnya pelukan itu. Kemudian
dilepaskan serta disuruh membaca lagi. Aku menjawab seperti yang pertama.
Malaikat memelukku lagi. Sesudah itu barulah malaikat berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق ْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ ْ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ْ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ْ
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم ْ
Sesudah itu Rasulullah segera
kembali pulang dengan badan yang gemetar karena ketakutan. Nabi menjumpai
Khadijah dan berkata: “Selimuti aku, selimuti aku!” Sesudah tenang perasaannya,
beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi, seraya berkata:
“Saya khawatir sekali terhadap diriku ini.” Maka Khadijah menjawab: “Tidak
sekali-kali tidak, demi Allah, Allah sekali-kali tidak mengabaikan engkau.
Engkau seorang yang selalu memikul beban orang, memberikan sesuatu kepada orang
yang tidak mampu, memuliakan dan menjamu tamu yang datang dan memberikan
bantuan-bantuan terhadap bencana-bencana yang menimpa manusia.”
Sesudah itu Khadijah pergi bersama
nabi kepada waraqah ibn naufal, anak dari paman Khadijah yang telah lama
memeluk agama Nasrani dan pandai menulis dalam tulisan ibrani. Dia seorang
syekh yang sangat tua dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya: “Wahai
anak paman, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini.” Waraqah
bertanya: “Wahai anak saudaraku, apakah gerangan yang menimpa engkau.” Maka
Rasul SAW menerangkan apa yang telah dilihat dan dialaminya.
Mendengar itu waraqah berkata:
“itulah Namus (Jibril) yang telah Allah turunkan kepada Musa. Alangkah baiknya
jika aku kala itu (kala Muhammad memulai nubuwahnya atau seruannya) masih muda
dan kuat! Mudah-mudahan kiranya diwaktu itu aku masih hidup, yaitu diwaktu
engkau diusir oleh kaummu.” Maka Rasulullah bertanya : “Apakah mereka akan
mengusirku?” Waraqah menjawab: “Ya benar sekali.” Tidak ada seorang lelaki yang
membawa seperti yang engkau bawakan, kecuali akan dimusuhi. Jika aku hidup
sampai saat itu, aku akan menolongmu dengan sesungguhnya.” Tidak lama kemudian,
Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun berhenti untuk sementara waktu.[4]
2. Ayat-ayat yang Mula-mula Diturunkan
Ayat yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam
gua Hira ialah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق ْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ ْ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ْ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ْ
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم ْ
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan.
Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang
paling mulia. Yang telah mengajarkan manusia apa yang manusia tidak
mengetahuinya.” (Q.S.
Al-‘Alaq [96]: 1-5)
Sesudah itu Allah menurunkan ayat:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ْ قُمْ فَأَنْذِرْ ْ
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ ْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُر ْ وَلَا
تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ ْ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ ْ فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ
ْ فَذَٰلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِير ْ عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِير
ْ
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah
khabar takut dan besarkanlah Tuhanmu, sucikanlah kainmu, jauhilah berhala-hala
dan janganlah kamu memberi nikmat untuk memandang banyak nikmat-nikmat itu, dan
bersabarlah karena Tuhanmu. Apabila telah ditiup sangkakala, maka itulah hari
yang sangat sulit dan sukar, terhadap segala orang kafir tidak pula mudahnya.” (Q.S. Al-Muddatstsir [74]:
1-10)
Jelasnya, sesudah Nabi menerima tugas yang terang
untuk menyampaikan unndang-undang Islam kepada para manusia dengan firman:
قُمْ فَأَنْذِرْ
ْ
“Bangunlah engkau lalu berilah pengajaran
(menerangkan khabar yang menakutkan.” (Q.S. Al-Muddatstsir [74]: 2)
Kemudian wahyu berhenti, tidak
turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun lamanya wahyu tidak
diturunkan. Dalam pada itu ada yang mengatakan selama empat puluh hari, ada
yang mengatakan selama lima belas hari dan ada yang mengatakan selama tiga hari.
Setelah Nabi merasa kecewa karena tidak turun wahyu yang sangat dirindukannya,
kemudian turun surat Adh-Dhuha.
Dan dapat diketahui dari
keadaan-keadaan yang mengitari turun surat ini, bahwa dia diturunkan dalam
tahun yang ketiga sesudah Nabi dibangkit, atau ketika Nabi berumur empat puluh
tiga tahun. Inilah surat yang ketiga yang diturunkan dalam tahun yang ketiga
dari kebangkitan Nabi. Sesudah itu baru terus beriringan Al-Qur’an diturunkan
menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi putus.
Pada permulaan tahun yang keempat
dari kebangkitannya, barulah Rasulullah memulai tugasnya menjalankan dakwah
secara terang-terangan yaitu mengajak umat ke dalam agama yang dibawanya dengan
cara terbuka dan tidak lagi bersembunyi-sembunyi guna memenuhi kehendak ayat:
“Maka janganlah apa yang engkau diperintahkan dan
berpalinglah kamu dari orang-orang musyrik.”(Q.S. Al-Hajr [15]: 4)
Dan memenuhi kehendak ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين ْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ
لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ْ فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي
بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ ْ
“Dan beri khabar takutlah kepada keluargamu yang
dekat-dekat dan rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang mukmin yang telah
mengikutimu, kemudian jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah bahwasanya saya
terlepas dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 214-216)[5]
3. Hari Terakhir Al-Qur’an Diturunkan dan Tempatnya
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa
hari terakhir turunnya Al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau
tahun 63 dari kelahiran Nabi (Maret 632 M).
Pada saat itu Nabi sedang berwukuf
di padang Arafah, mengerjakan haji yang terkenal dengan haji Wada’. Kebanyakan
ulama tafsir menetapkan bahwa sesudah hari itu Al-Qur’an tidak lagi diturunkan
untuk menerangkan hukum dan Nabi pun hidup sesudahnya hanya selama 81 malam.
Ahli tarikh menetapkan bahwa Nabi Saw hidup sesudahnya selama kurang lebih tiga
bulan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin tanggal 12
Rabi’ul Awal tahun 11 H (7 Juni 632 M).[6]
4. Ayat Al-Qur’an yang Terakhir Diturunkan
Dalam masalah ayat yang paling
akhir turun, tak satu pun terdapat riwayat yang marfu’ kepada
Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabi’in.
Itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi
kesimpangsiuran dan persilangan pendapat. Berikut ini beberapa riwayat tentang
ayat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan:
a. Q.S. Al-Baqarah [2]: 281
Dalil yang dipegang yaitu:
1) Riwayat yang dikeluarkan oleh Nasa’I
dari ‘Ikhrimah, dari Ibnu Abbas;
2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu
Abi Hatim, dari Said bin Jubair;
3) Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu
Juraij;
4) Riwayat Al-Baihaqiy dari Ibnu
Abbas.
b. Q.S. Al-Baqarah [2]: 278
Riwayat yang saama dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy.
c. Q.S. Al-Baqarah [2]: 282
Pendapat ini merujuk pada:
1) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu
Jarir, dari Said bin Al-Musayyab;
2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu
‘Ubaid, dari Ibnu Syihab.
d. Ayat kalalah adalah
ayat Al-Qur’an yang terakhir turun. Pendapat ini merujuk pada hadis mutaffaqun
‘alayhi (riwayat Al-Bukhari dan Muslim) dari Al-Barra’ bin ‘Azib.
Riwayat itu menyatakan bahwa surat yang paling akhir turun adalah Bara’ah (At-Taubah)
dan akhir ayat yang turun adalah yastaftunaka (yang dikenal
dengan ayatkalalah, yakni ayat 176 surat An-Nisa’)
e. Q.S. Al-Ma’idah [5]: 3
Syekh Muhammad Al-Khudhariy dalam kitabnya, Tarikh
Al-Tasyri’ Al-Islami dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam
kitabnya, Al-Qur’an: Wash fuhu, Hidayatuhu, ‘Atsaru I’jazihi, termasuk
yang memegang ayat 2 surat Al-Ma’idah ini sebagai ayat yang diturunkan paling
akhir.[7]
C. Proses Penurunan Al-Qur’an
1. Tahap-tahap Turunnya Al-Qur’an
a. Tahapan Pertama (At-Tanazzulul
Awwalu)
Tahapan pertama, Al-Qur’an
diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh. Yakni, suatu tempat di
mana manusia tidak bias mengetahuinya secara pasti.
Dalil yang mengisyaratkan bahwa
Al-Qur’an itu ditempatkan di Lauh Mahfudh itu ialah keterangan
firman Allah SWT:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ ْ فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
ْ
“Bahkan (yang didustakan mereka) itu ialah
Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di Lauh Mahfudh.” (Q.S. Al-Buruj: 21-22)
Tetapi mengenai sejak kapan
Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh itu, dan bagaimana
caranya adalah hal-hal ghaib tidak ada yang mampu mengetahuinya, selain dari
Allah SWT, Dzat yang Maha Mengetahui segala hal yang tersembunyi. Namun,
mengenai bagaimana cara turunnya Al-qur’an itu ke Lauh Mahfudh dapat
disistematiskan secara sekaligus ke seluruh Al-Qur’an itu.
b. Tahapan Kedua (At-Tanazzulu
Ats-Tsani)
Tahapan kedua, Al-Qur’an turun
dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di langit
dunia.Jadi, setelah berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu
turun ke Baitul Izzah di langit dunia atau langit terdekat
dengan bumi ini.
c. Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu
Ats-Tsaalistu)
Tahapan, Al-Qur’an turun dari Baitul
Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad Saw. Artinya,
setelah wahyu kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya ditempatkan di Lauh
Mahfudh, lalu keduanya diturunkannya ke Baitul Izzah di
langit dunia, kemudian ketiganya disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad SAW,
baik melalui perantaraan Malaikat Jibril, atau pun secara langsung ke dalam
hati sanubari Nabi Muhammad SAW, maupun dari balik tabir.[8]
2. Tempo Nuzul Al-Qur’an
Banyak pendapat dari ‘ulama
mengenai tempo Nuzul Al-Qur’an. Ada yang mengatakan, 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Sebagian dari mereka berpendapat, 20 tahun. Ada pula yang mengatakan 23 tahun,
bahkan ada pula yang menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan selama 25 tahun.
Perbedaan pendapat tersebut tidak lepas dari perselisihan pendapat tentang
berapa lama Nabi SAW bermukim di Makkah setelah diangkat sebagai rasul. Namun
demikian mereka sepakat tentang lama masa Nabi SAW bermukim di Madinah, yakni
selama 10 tahun.
Al Khudlari menetapkan bahwa tempo
Nuzul Al-Qur’an adalah 2 tahun 2 bulan 22 hari, yakni sejak tanggal 17 Ramadhan
tahun ke-41 dari kelahiran Nabi SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H
atau tahun ke-63 dari kelahiran NAbi SAW. Sedangkan menurut Kamaludin Marzuki,
Nabi SAW menerima wahyu selama 22 tahun 6 bulan, yakni sejak enam bulan setelah
beliau menerima wahyu pertama berupa mimpi yang nyata (ar Ru’ya ash shalihah)
pada tanggal 12 Rabi’ul awwal atau sejak Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran
Nabi SAW hingga menjelang wafatnya, yakni dalam usia 63 tahun.[9]
3. Cara-cara Turun Wahyu Al-Qur’an
Cara-cara turun wahyu pada pokoknya melalui tiga
cara, seperti yang diidentifikasikan Al-Qur’an:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا
أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا
يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
ْ
“Dan tidak ada bagi seseorang manusia pun bahwa
Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Asy-syura: 51)
Dari keterangan ayat tersebut,
dapatlah diketahui bahwa cara-cara turun wahyu pada umumnya, termasuk cara
turun wahyu Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a. Dengan cara pemberitahuan langsung
(secara wahyu) ke dalam hati Nabi atau jiwanya mengenai sesuatu pengetahuan
yang dia sediri tidak mampu menolaknya dan tidak sedikit pun meragukan
kebenarannya. Cara ini sering disebut dengan cara ra’yu ash-shalihah atau
impian nyata diperolehnya dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi kemudian
menjadi kenyataan. Contohnya, seperti impian Nabi Ibrahim a.s., ketika menerima
wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih puteranya, Ismail.
b. Dengan cara penyampaian dari balik
takbir, yakni suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah
gemerincingnya suara lonceng/bel. Jadi, yang dijadikan tabir menutup
pendengaran para sahabat adalah gemuruhnya bunyi lonceng, yang menghalangi
telinga mereka mendengar bisikan suara wahyu ayat yang diturunkan. Tetapi
telinga Nabi tetap mendengar bisikan suara wahyu itu dari balik suara lonceng
tersebut.
c. Dengan cara melalui perantara
Malaikat Jibril a.s. sebagai pembawa wahyunya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan
oleh Al-Qur’an. Jadi, Malaikat Jibril membacakan wahyu ayat-ayat yang
diturunkan, baik dia itu tetap dalam bentuk aslinya dalam alam rohani, dan Nabi
SAW yang melepaskan diri dari bentuk tubuh jasmani menjadi bentuk rohani.
Cara ini terasa berat bagi Nabi,
sehingga seolah-olah beliau seperti mengigau atau pingsan, meski sebenarnya
beliau waktu itu tidak mengigau atau pun pingsan, melainkan karena sedang penuh
konsentrasi dalam menghadapi malaikat dalam alam rohani. Hal ini sesuai dengan
keterangan Al-Qur’an:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
ْ
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat.” (Q.S. Al-Muzammil: 5)
Atau sebaliknya, Malaikat Jibril
a.s. itu menyamar sebagai seorang laki-laki sedangkan Nabi tetap dalam bentuk
tubuh jasmani, sehingga cara ini sangat mudah bagi Nabi.[10]
D. Pelestarian Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Setiap kali menerima wahyu
Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah:
1. Tahap penghimpunan Al-Qur’an di
benak Rasulullah yakni penghafalan.
2. Tahap pembacaan ayat-ayat
Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di
hadapan Rasulullah.
3. Tahap penjelasan atau tahap bayan.
Pada tahap yang terakhir ini, Rasulullah diberitahukan pengertian atau maksud
ayat yang beliau terima.
Oleh karena pesan Al-Qur’an tidak hanya
untuk Rasulullah, tetapi untuk semua orang terutama yang bertakwa (lihat
Al-Baqarah ayat 2), langkah Rasulullah selanjutnya adalahtablig, yakni
menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat tanpa kecuali.
خَيْرُكُمْ
مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari
Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Kalimat Rasulullah ini ternyata
menjadi semacam “alat pemacu” yang mampu menggerakkan kaum Muslimin untuk
berlomba-lomba menguasai Al-Qur’an sebanyak mungkin. Tidak sedikit diantara
para sahabat Rasulullah yang menguasai keseluruhan ayat Al-Qur’an yang diterima
Rasulullah itu. Mereka tak ingin kalau sampai ada ayat Al-Qur’an yang tidak
mereka kuasai. Misalnya, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab,
selain empat sahabat Rasulullah yang sempat menduduki kursi khilafah atau
yang biasa juga disebut “empat besar”, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali radhiallahu ‘anhum.[11]
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan
wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk
tulisan. Beliau memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat
wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin
Sa’id, Khalid bin Al-Walid dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan
Al-Qur’an pada masa Nabi sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis
berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang-belulang, dan batu.
Kegiatan tulis-menulis Al-Qur’an
pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan
para sahabat lainnya. kegiatan itu didasarkan pada sebuah hadits Nabi
sebagaimana telah diriwayatkan oleh Muslim, “Janganlah kamu menulis
sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis
dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.”
Diantara faktor yang mendorong
penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah:
1. Mem-back up hafalan
yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara
yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup
karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang sudah wafat.
Adapun tulisan tetap terpelihara walaupun tidak ditulis pada satu tempat.[12]
E. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat dan
Pelestariannya Pada Masa Selanjutnya
1. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an
sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis
dengan terpencar-pencar. Orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an itu terjadi
setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para
pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata
menyebabkan 700 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin
hilangnya para penghafal Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut
terancam, Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar, agar segera
menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang
tersimpan di dalam hafalan maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah seorang
sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Bukhari, mengisahkan, setelah peristiwa
berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghafal Al-Qur’an, Zaid diminta
bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah Umar bin
Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “Umar telah
mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah meminta korban
sejumlah qari’ Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk.
Kalau demikian, banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya
penghimpunan Al-Qur’an.”
Zaid bin Tsabit berkata kepada
Umar karena usul penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan
sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini
sesuatu yang baik.” Ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah
telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
Abu Bakar berkata kepada Zaid,
“Engkau adalah seorang lelaki yang msih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu
(cacat mental). Dahulu engkau menulis wahyu untuk Rasulullah, (sekarang)
lacaklah Al-Qur’an.”
Tugas yang dipercayakan Khalifah
Abu Bakar padanya bukan hal yang ringan. Ia berkata di hadapan Abu Bakar dan
Umar pada waktu itu, “Demi Allah, jika sekiranya orang-orang membebaniku
memindahkan suatu gunung hal itu tidak lebih berat daripada perintah untuk
menghimpun Al-Qur’an.”
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid
menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak
menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan. Sikap
kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an sebenarnya juga atas dasar
pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata, “Duduklah kalian di
pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an
dengan dua saksi, catatlah.
Umar juga pernah berkata, “Siapa
saja yang pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Qur’an dari Rasulullah,
sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnya
pada suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid sendiri tidak menerima laporan ayat
dari siapapun sebelum diperkuat dua saksi.”
Dalam menerangkan pengertian dua
saksi, perlu disimak pendapat Ibnu Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini,
yang dimaksud dengan syahidain (dua saksi) di sini tidak harus
keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat
tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya
didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu
hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu dapat diterima bila
dikuatkan oleh dua catatan dan atau dua hafalan sahabat lainnya.
Pekerjaan yang dibebankan ke
pundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada
tahun ke-3 H di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sahabat
lainnya. Tidak ragu lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam
pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yitu Abu Bakar sendiri, Umar, dan
Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan
terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punya arti
tersendiri. Zaid, sudah tentu mendapat kehormatan besar karena dipercaya
menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan,
ketelitian, dan kerja keras. Adapun Khalifah Abu Bakar sebagai decision
maker juga menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi
Thalib memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia
adalah orang yang pertama kali (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah.”
Setelah sempurna, berdasarkan
musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan Mushaf.
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan Khalifah Umar.
Setelah Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan
sebagai khalifah yang menggantikan Umar karena sebelum wafat, Umar memberikan
kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di
antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf kepada salah
seorang di antara keenam sahabat itu, ia khawatir hal itu diinterprestasikan
sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, Umar ingin
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat untuk memilih mereka yang
layak menjadi khalifah. Maka, ia menyerahkan mushaf itu kepada Hafsah yang
sesungguhnya lebih dari layak memegang mushaf yang sangat bernilai, terlebih ia
adalah istri Nabi dan sudah menghafal Al-Qur’an secara keseluruhannya.
2. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Utsman bin Affan
Inisiatif Utsman untuk menyatukan
penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa
riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik
yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi
perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara
membaca Al-Qur’an ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang
datang dari Irak dan Syiria. Mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti
qira’at Ubai bin Ka’ab, sedangkan mereka yang berasal dari Irak membacanya
sesuai dengan qira’at Ibnu Mas’ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang
mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Sangat disayangkan, masing-masing pihak
merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Adapun mengenai jumlah pasti
naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat pengirimannya, hadits memberikan
penjelasan yang berbeda-beda, tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di
Madinah, sedangkan salinan lain dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta
mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Qur’an yang ada sebelumnya, yakni
sebelum adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan sehingga teks
seluruh salinan Al-Qur’an yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya harus
didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
Utsman memutuskan agar
mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Terbukti mutawatir, tidak ditulis
berdasarkan riwayat ahad.
b. Mangabaikan ayat yang bacaannya
di-nasikh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c. Kronologi surat dan ayat seperti
yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan
suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
d. Sistem penulisan yang digunakan
mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh
Al-Qur’an ketika turun.
e. Semua yang bukan termasuk
Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat juga
menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
3. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Selanjutnya
Mushaf yang ditulis atas perintah
Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam,
mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa Khalifah Abd-Al-Malik (685-7705), ketidakmemadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu, penyempurnaan
pun segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu
Ubaidillah bin Ziyad (wafat 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (wafat 95
H). Ibnu Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk
meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun Al-Hajjaj
melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas tempat yang
memudahkan membaca mushaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak
berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi
sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika proses penyempurnaan naskah
Al-Qur’an (mushaf Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang
disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada
mushaf Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin
Ya’mar (45-129 H), dan Nashr bin Ashmin Al-Laits (wafat 89 H). Adapun orang
yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, ar-rum, dan
al-isyam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kun-yah Abu
Abdirrahman (wafat 175 H).
Upaya penulisan Al-Qur’an dengan
tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi
terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Walid (memerintah dari tahun 86-96 H)
memerintahkan Khalid bin Al-Khayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk
menulis mushaf Al-Qur’an.[13]
F. Percetakan Al-Qur’an
Sebelum berkenalan dengan percetakan,
mushaf-mushaf ditulis dengan tangan. Al-Qur’an cetakan pertama kali muncul di
Bunduqiyah, tahun 1530 M. Namun, begitu lahir, penguasa gereja mengeluarkan
perintah pemusnahan kitab suci agama Islam itu. Barulah lahir lagi cetakan
selanjutnya atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelmann pada tahun 1694 M di
Hamburg. Disusul kemudian oleh Marracci yang menerbitkan lagi Al-Qur’an tahun
1698 di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dari Al-Qur’an cetakan pertama, kedua,
maupun ketiga itu yang tersisa di dunia Islam (Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran,
hlm. 99). Sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Qur’an pertama itu dari
kalangan bukan Muslim.
Penerbitan Al-Qur’an dengan label
Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman.
Dan mushaf cetakan itu lahir di Leningrad, Uni Soviet atau St. Petersburg,
Rusia, sekarang. Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit
lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia menerbitkan mushaf cetakan di
kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan
di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit
lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari
Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Qur’an di perempatan pertama abad
ke-20. Panitia yang dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342
H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang
pertama terbit di negara Arab itu, di-dlabit sesuai dengan riwayat
Hafsh atas qiraat‘Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak, di
Mesir dan di berbagai negara.[14]
BAB III
SIMPULAN & SARAN
A. Simpulan
1. Nuzul Al-Qur’an atau yang di
Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri dari dua kata,
yakniNuzul dan Al-Qur’an. Kata nazala di
dalam bahasa Arab berarti “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah.”
2. Al-Qur’an mulai diturunkan kepada
Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di gua Hira pada malam Senin,
bertepatan dengan tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi
Muhammad SAW (6 Agustus 610 M). Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran
Al-Qur’an, Allah menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu
suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Qur’an sendiri. Ayat
yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira adalah Q.S. Al-Alaq
ayat 1-5, sesudah itu Allah menurunkan Q.S. Al-Muddatstsir ayat 1-10. Kemudian
wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun
lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam pada itu ada yang mengatakan selama empat
puluh hari, ada yang mengatakan selama lima belas hari dan ada yang mengatakan
selama tiga hari. Setelah Nabi merasa kecewa karena tidak turun wahyu yang
sangat dirindukannya, kemudian turun surat Adh-Dhuha. Kemudian ulama menetapkan
bahwa hari terakhir turunnya Al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun 10
H atau tahun 63 dari kelahiran Nabi (Maret 632 M). Namun dalam masalah ayat
yang paling akhir turun, tak satu pun terdapat riwayat yang marfu’ kepada
Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabi’in.
Itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi
kesimpangsiuran dan persilangan pendapat.
3. Allah menurunkan al-quran kepada
rasulullah melalui 3 tahap:
a. Tahapan Pertama (At-Tanazzulul
Awwalu)
Al-Qur’an diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh.
b. Tahapan Kedua (At-Tanazzulu
Ats-Tsani)
Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul
Izzah di langit dunia.
c. Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu
Ats-Tsaalistu)
Al-Qur’an turun dari Baitul Izzah di
langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad Saw.
4. Pada masa ketika Nabi Muhammad
masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an
yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan danUbay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu
berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
5. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran yang mengakibatkan
tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan
keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh
tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi
dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga
wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang juga istri Nabi
Muhammad.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah)
antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Pasca sahabat pemaliharaan Al-Qur’an pada masa
khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 65 H. Kemudian berkembang pada abad
ke 3 H, dalam perkara ini selalu saja disebut 3 orang tokoh Abu Aswad ad-Duali
dialah yang paling terkenal, Yahya bin Ya’mar, dan Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya al-Khalil ibn Ahmad yang membuat
tanda-tanda baca dalam al-Qur’an dan berkembanglah tulisan-tulisan itu sampai abad
ke 5 H.
6. Al-Quran pertama sudah mulai dicetak di Negara bagian Eropa tepatnya
yaitu di kota Bunduqiyah (Italia) pada tahun 1530 M. Tetapi begitu mushaf
cetakan itu muncul kekuasaan gereja pada masa itu mulai kembali berkembang dan
memliki rencana untuk membasmi musahf-mushaf Al-Quran.Namun dalam pendapat lain juga
mengatakan bahwasanya awal mula pencetakan Al-Quran dilakukan pada tahun 1694
M, Hinkelman mencetak mushaf di Hambourg (jerman). Pada tahun
1698 M, Merracci juga mencetak Al-Quran di kota Podova (Italia Utara).
B. Saran
Demikianlah makalah ini saya
selesaikan. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Riski Putra.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an.
Surabaya: Dunia Ilmu.
Hermawan,
Acep. 2011. ‘Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sf,
Syakur. 2001. Ulum Al-Qur’an. Semarang: PKP12. FAI Universitas
Wahid Hasyim.
Lestari, Sri. “Makalah Sejarah Nuzulul Qur’an”.http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses pada tanggal
21 Februari2015, jam 23:06:33 WIB.
[1] Sri Wiji Lestari, Makalah Sejarah Nuzulul Qur’an,http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses
pada tanggal 21Februari 2015, jam 23:06:33 WIB.
[4]Teungku M. Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011),
hlm. 19-20.
loading...
0 Comment to "Makalah Nuzulul Quran"
Post a Comment