MAKALAH
KANDUNGAN SURAH AL-FATIHAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Surat Al-Fatihah yang merupakan surat
pertama dalam Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat
Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah.
Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114
surat dalam Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan
lengkap ini merupakan intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian
dirinci oleh surat-surat sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah,
yaitu surat yang diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Surat ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri
dari tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan,
janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi
orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang
yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya,
semua itu tercermin dalam surat Al Fatihah.
Kedudukan surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah
sebagai sumber ajaran Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW:
“Al-Hamdulillah (Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul
Matsaani dan Al-Qur’anul Adhim.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih).
Dinamakan dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena
di dalamnya mencakup inti ajaran Al-Quran.
B.
Rumusan Masalah
1. Surat Al-Fatihah Dan Terjemahannya
2. Penjelasan Umum Surat Al-Fatihah
3. Tafsir Surat Al-Fatihah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Surat
Al-Fatihah dan Terjemahannya
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 1 - 7]
- Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
- Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
- Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang;
- Yang
menguasai Hari Pembalasan.
- Hanya
Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.
- Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus;
- (yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B. Penjelasan Umum Surat Al-Fatihah
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut
mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[1]Namun
menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di
Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di
Mekkah, sekali di Madinah.[2]
Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia
bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali
diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka)
karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali
Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4]
Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama
dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas,
al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah
sebutan
untuk al-Lauh al-Mahfuzh.[5]
Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua
puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup),[6]
asy-Syafiyah (yang menyembuhkan),[7] dan as-Sab’ul
Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
C. Tafsir
Surat Al-Fatihah
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة : 1]
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang
Kalimat basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai
bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom
“nama Allah” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba
harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa
menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan permohonannya. Permohonan
pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang
paling utama lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna
kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah
yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan.
Hal itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat
seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.[10]
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة :
2]
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat
ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan
dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta
baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung
perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah
satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk
di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara
semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk
tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh.[11]
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar
pada satu kata, yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti
kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini
kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas
lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam
Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari
efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[12]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahmandan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang
memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim
merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.[13]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber
kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana
sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi
kenikmatan.[14]
مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]
Yang
menguasai di hari Pembalasan
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim,
al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan huruf mim dibaca
panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya
dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa
dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama
menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna
Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[15]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat
tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.” Menurut
Qatadah, kata ad-din (الدين)
berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan
keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut
bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali
agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan.
Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan. [16] Saat
itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة : 5]
Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami
menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah
membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat
tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada
Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah
juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai
perintah dan larangan-Nya.[17]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar
(asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi
kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang
notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang
menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa
diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah,
ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[18]
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga
merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah
memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita
beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya.
Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih
dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang
meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang
diperintahkan.[19]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة : 6]
Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus,
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti
“berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu
adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia
berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi,
kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang
agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada
sekutu bagi-Nya.”[20]
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca
(qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya
dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf
Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin,
sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca
dengan huruf zay (ز),
sehingga menjadi (الزِراَط).[21]
Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath
(الصِّرَاطَ) berarti
jalan yang jelas dan tidak bengkok.[22]
Kataاهْدِنَا berasal
dari akar kata hidayah (هداية). Menurut
al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya
secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada
manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan
kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah
melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada
Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah
hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan
baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan
oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka
Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk
Islam.[23]
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
[الفاتحة : 7]
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya
tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi,
yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan
yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada
mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati
tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan
para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga
dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang
yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat
beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[24]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan
mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka
dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai
kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah
orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan
orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan
diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
DOWNLOAD MAKALAH LENGKAPNYA DISINI
loading...
0 Comment to "Makalah Ilmu Tafsir Kandungan Surah Al Fatihah"
Post a Comment