MAKALAH
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dunia
Islam telah mengalami masa keemasan dalam sejarah peradaban dunia, banyak dari
sana muncul ilumuan-ilmuan yang mendunia yang melahirkan karya-karyanya, baik
dalam bidang politik, astronomi, filsafat, kedokteran, fisika, biologi. namun
masa keemasan itu berakhir atau mengalami kemunduran setelah perang salib dan
dihancurkannya pusat ilmu atau perpustakan kordoba yang mana pada saat itu
perpustakaan kordoba memiliki 70 perpustakaan dan 400.000 kitab.
kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern mulai masuk ke dunia islam setelah
pembukaan abad ke sembilan belas. Yang dalam sejarah Islam di pandang sebagai
awal permulaan abad Modern. kontak dengan dunia Barat selanjutnya menimbulkan
ide-ide baru ke dunia Islam seperti: rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan
sebagainya. Semua ini menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dan
pemimpin-peminpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan
ini.
Benturan-benturan
antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan Umat Islam, bahwa mereka jauh
tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal ini adalah kerajaan turki
Ustmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa.
Kesadaran itu memaksa pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Meskipun
kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim,
kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya
gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin-doktrin Islam
pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam
sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan,
kebekuan (jumûd), dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang
mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum Muslim, tidak hanya
dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris. Tantangan itu
mencul di kalangan kaum Muslim hampir secara serentak. Hal ini menyebabkan
solusi yang diajukan sangat bervariasi, meski pada umumnya bertujuan sama,
yaitu memajukan kembali Islam seperti pada masa keemasan dulu. Walaupun variasi
itu tidak selamanya disebabkan oleh kondisi wilayah tempat munculnya gerakan
pembaharuan, tetapi lebih-lebih merupakan implikasi dari penafsiran yang
berbeda atas teks-teks suci, baik dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Dalam
tentang yang panjang, bentuk solusi ada yang merupakan penolakan yang membabi
buta, dan adapula yang menerima mentah-mentah.
Makalah
ini akan menjelaskan pengertian pembaharuan Islam, konsep yang digunakan. Dari
uraian tentang masalah ini, variasi gerakan pembaharuan Islam akan tampak
jelas. Ini tidak hanya akan bermanfaat bagi kajian-kajian selanjutnya, tetapi
juga dalam upaya mencari titik temu gerakan pembaharuan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Pembahruan dalam Islam
2.
Latar
belakang pembaharuan dalam Islam
3.
Faktor
penyebab timbulnya gerakan pembaharuan dalam Islam
C. Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui latar belakang
sejarah pembaharuan dalam Islam serta mengetahui apa penyebab kemunduran dan
adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan konsep yang di gagas oleh para
pembaharu, sehingga dengan ini insya Allah dapat menambah cakrawala kita
terhadap dunia Islam dan mengenal para tokoh yang menggagas konsep pembaharu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pembaharuan dalam Islam
Kata
yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir
dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat
barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan
usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan
sebagainya. Agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan
keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
Pembaharuan
Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan
dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern. Dengan
demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau
menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas
keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena
betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman
lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan,
pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang
mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin
sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam
kaitannya dengan itulah, Harun Nasution [1], mendefinisikan pembaharuan Islam
sebagai “pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam
dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi
modern”. Dengan pengertian itu tampaknya Nasution mengidentik pembaharuan
Islam dengan modernitas Islam. Kata “modern” berasal dari kata latin modo,
yang berarti “masa kini” atau “mutakhir” [2]. Dari pengertian modern demikian definisi
yang dikemukakan Nasution juga mengandung arti Islam harus mampu menjawab
tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan zaman.
Sebagaimana diuraikan
di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya
aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka
persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan
pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam
(tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya
pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
B. Landasan
Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan
dalam Islam merupakan keharusan bagi suatu upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi Islam. Maka, berkaitan dengan hal ini persoalan
yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan
(landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Di
antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam
adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan historis.
1.
Landasan Teologis
Menurut
Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman
sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong
munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam)[3].
Selanjutnya masih menurut Achmad Jainuri bahwa landasan teologis itu
terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal
(univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah lil
al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Universalitas
Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur
seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan hablu min Allah
(hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat
manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan)[4].
Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan
tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan
hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara
bersama-sama[5].
Konsep
universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap
waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab
dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat,
masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme
itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun [6].
Universalisme
Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai
dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang
sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar
sesuai dengan segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam
yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau
diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada
dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam
meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan
manusia yang selalu berubah. Islam yang universal —shalih li kulli zaman wa
makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika
kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu
antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li
al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu
kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya
juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan sangat
tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa
keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru
karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika
modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang
diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai
seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa
Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang
berarti paska Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu
yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup
sekalian agama yang diturunkan sebelumnya[7].
Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak
ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga
terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam
al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi
Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang
lengkap dan sempurna.
Menurut
Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya
dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk
Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi
ke-Nabi-an Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat
penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah
berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah
al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang secara
fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw
sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa
kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para
Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara
institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan
tajdid[8].
2. Landasan Normatif
Landasan
normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari
teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang
dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara
jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat
ad-Dhuha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang
dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri
mereka sendiri….”
Dari
ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah
menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan
berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan
demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada
karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme penyesuaian dengan
derap langkah dinamika sejarah.
Sementara
itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan
bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang
akan memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan
para pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli
mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang
mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai
dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk
tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal
kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka —yang disebutkan dalam
daftar literatur sejarah Islam— telah meninggal dunia pada awal abad, yang
berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian
lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang
penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas
dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang
jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadist
Nabi.
3. Landasan Historis
Di
awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih
terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima
dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa
atha’na”.
Dalam
perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas,
dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam
itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu
fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat
abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan
segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang
cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu
pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama
maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim
dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga
terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah
melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya,
sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau
dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa.
Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela
sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII[9].
Meskipun
demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti
digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn
Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan
yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu,
sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang
cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang
sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu
dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
serta memahaminya[10].
Dalam
perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus
mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi
corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan
problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan
pembaharuan pada masa modern.
Gerakan
pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada
abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat
jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian
menginsafkan umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang
dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan[11].
Walaupun
gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade
yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan
pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan
gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu
gerakan-gerakan pembaruan tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral
masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan
individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya
karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern
maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad
Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah,
juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul
Wahab dipandang lebih radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua
pengaruh yang “non Islam” terhadap amal ibadah.
Gerakan-gerakan
serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah di India
abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh
Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang
membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia
kehidupan sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi
yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum petani,
serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara teritorial di
India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat
internasional.
Gerakan
pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta
ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern
(abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan
dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu:
pertama, pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang
tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi
Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat
pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan
serangan-serangan Eropa[12].
Apa
yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama
dengan Era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan
Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam
gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan
dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan
modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang
digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat
al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan
kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara
sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian
di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan
normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut
(teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam)
memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan
pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
C. Faktor penyebab kemunduran umat islam:
Isu
pintu ijtihad tertutup telah meluas dikalangan umat islam. Berpaling pikiran
untuk menggali secara langsung pada sumber pertama dan utama, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila mereka menemukan persoalan baru, pikiran mereka
hanya terpusat pada kepentingan mazhab. Praktek bermazhab dan ta’assuk terhadap
mazhab tertentu sangat marak dilakukan. Karena itulah ilmu pengetahuan mulai
berkurang, kehidupan berkelompok dengan pengaruh negatifnya tersebar hampir
disemua tempat di dunia islam.
Keutuhan
umat islam dalam bidang politik mulai terpecah, kekuasaan khalifah menurun,
masyarakat islam yang berbentuk persatuan dan kesatuan dalam seiman telah
pindah. Tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali nama dan tatanan. Umat Islam
terpecah belah dan saling bermusuhan, masyarakat islam berubah dan kerajaan
islam telah mewariskan kota-kota dan kerajaan yang telah bertikai selama
berabad-abad, dalam sekejap mata sejarah kemanusiaan telah dirobek-robek oleh
kelemahan strategi politik.
Adanya
perang salib dibawah arahan gereja katolik Roma dan serbuan tentara barbar.
Karena itu khalifah sebagai lambang kesatuan politik umat islam hilang. Tentara
salib ingin menguasai baitul maqdis untuk menyebarkan pengaruhnya dan mengajak
bersatu dalam keyakinan. Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya
hingga muncul gerakan yang dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan
seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahab, dan lain-lain.
D. Tokoh-tokoh
Pembaharuan dalam Islam
- Ibnu Taimiyah
- Muhammad Bin Abdul Al-Wahhab
- Mustafa Kemal At-Tatturk
- Jamaluddin Al-Afghani
- Muhammad Abduh
- Rasyid Ridho
- Muhammad Iqbal
- Sayyid Amir Ali
- Hasan Al-Bana
- Sayyid Qutub
loading...
0 Comment to "Makalah Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam"
Post a Comment