Sunday, June 11, 2017

Makalah Filsafat Pemikiran Al-Ghozali

MAKALAH
FILSAFAT PEMIKIRAN AL-GHOZALI

BAB I  
 PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,  karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

1.2 Rumusan Masalah
A.     Bagaimana Biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali?
B.     Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?
C.     Bagaimana Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat?









BAB II
 PEMBAHASAN

2.1 Biografi dan Karya Al Ghazali
1.      Biografi Al Ghazali
Beliau bernama Muhammad bin Ahmad al-ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.1
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam).
Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam.2
Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut.3
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizamiah lagi.

Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.4

2.      Karya-karya Al-Ghazali
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1.    Di Bidang Filsafat
a.  Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
b.  Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
c.  Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
2.    Di bidang Agama
a.    Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
b.    Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
c.    Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).

3.    Di bidang akhlak tasawuf
a.        Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
b.        Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
c.        Kimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut pandang kepraktisannya dan hukum.
d.       Kitabul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan dengan akhlak tasawuf.
e.        At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
f.         Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).
g.        Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu aqidah dan teologi.
h.        Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
i.          Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya dengan etika hidup manusia.
j.          Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.

4.    Di bidang kenegaraan
a.        Mustazh hiri.
b.        Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
c.        Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu  pimpinan bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
d.       Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).5

5.    Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
a.    Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
b.    Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
c.    Al-Wajiz fi al-Furu’.6

2.2  Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1.      Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.7
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.8
3.      Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.9   

2.3  Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga sebagai salah seorang filosof muslim.10 Namun, dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada dalam bukunyaTahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut:
1.             Tuhan tidak mempunyai sifat.
2.             Tuhan mempunyai substansi basit (بسيط sederhana, simple) dan tidak mempunyai mahiah ( ماهية  hakekat, quiddity).
3.             Tuhan tidak mengetahui juz’iat (جزئيات perincian, particulars).
4.             Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, (الجنسjenis, genus) dan al-fasl (الفصل          differentia).
5.             Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6.             Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat.
7.             Hukum alam tak dapat berubah.
8.             Pembangkitan jasmani tidak ada.
9.             Alam ini tidak bemula.
10.         Alam ini kekal.11

Tiga dari kesepuluh pendapat diatas, menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran yaitu:
1.         Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2.         Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3.         Pembangkitan jasmani tidak ada.
Yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Alam kekal (Qadimnya Alam)
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim berdasarkan tiga argumen yaitu sebagai berikut:
a.       Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Proposi ini berlaku bagi sebabakibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim kedua-duanya (Allah dan alam).
b.      Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu dengan dua.
c.       Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.12 Sedangkan menurut Al-Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain Allah adalah hadis (baharu). Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena Allah menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu adalah suatu tambahan, atau pertalian dengan zat, artinya lain daripada zat. Sehingga jika terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.13
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani  di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan jasmani dan rohani dan ada pula yang disebutkan rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih cenderung pada arti metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi), sedangkan arti neraka (api yang bernyala), bagi mereka adalah kesengsaraan.14
Sebenarnya antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya bertentangan dari segi pendekatan dan pemaknaan serta penjabaran konsep saja, bukan esensi dari segala sesuatu, artinya hakekatnya mereka mengakui apa-apa yang tersirat dalam sumber utama (wahyu) sedang pemaknaan atau cara menterjemahkannya tergantung pada manusia.Al-Ghazali pada dasarnya tidak ingin menjatuhkan para filosof Muslim, melainkan mewaspadai jangan sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus berkembang secara umum, karena orang awam belum tentu dapat memahaminya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi tiga macam:
1.        Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
2.        Kaum pilihan (الخواص  ,elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3.        Kaum menengkar (اهل الجدل).15
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah filosof.









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
          Pemikiran filsafat Al-ghazali dapat dibagi 3 yaitu:
a.       Metafisika yang berarti mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan
b.      Iradat tuhan yang berarti  Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
c.       Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.











DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 1996.  Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Akhyar dasoeki, Thawil. 1993.  Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: CV Toha Putra
Ghazali, M. Bahri. 1991. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik. Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Hanafi, Ahmad.1996.  Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ibnu Rusn, abidin. 1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasution, harun.  1995. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Poerwantana, dkk. 1988.  Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: CV ROSDA

Zar, Sirajuddin. 2004.  Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



DOWNLOAD MAKALAHNYA DISINI



loading...

Share this

0 Comment to "Makalah Filsafat Pemikiran Al-Ghozali"

Post a Comment