TUGAS SOSIOLOGI
ADAT DAN UPACARA PERNIKAHAN ACEH
A. Pakaian Adat Aceh
Paling tidak beberapa pakaian dibawah ini yang sudah bisa mewakili untuk Anda ketahui. Simak informasinya berikut ini.
1. Ulee Balang
Kita masuk pada pakaian adat Aceh yang pertama, yaitu bernama Ulee Balang. Terjadi perbedaan pada pakaian untuk pria dan wanita. Jika pakaian adat pria disebut baju Linto Baro, maka pakaian adat untuk wanita disebut baju Daro Baro.
Konon, pakaian tradisional Aceh ini cuma dipakai oleh para sultan dan pembesar kerajaan, tetapi saat ini keduanya lebih sering dipakai oleh para pengantin pada pesta pernikahan. Kedua pakaian tersebut punya keunikan tersendiri sebagai ciri khas di setiap bagian-bagiannya.
2. Celana Sileuweu
Celana Sileuweu ialah celana panjang yang dikenakan pada pakaian adat Aceh untuk laki-laki yang berwarna hitam. Namun, celana atau dalam bahasa Aceh, celana yang disebut Sileuweu ini terbuat dari bahan kain katun. Ada yang menyatakan nama celana ini ialah Celana Cekak Musang, yaitu Celana khas dari adat Melayu dan menjadi kebiasaan warga Aceh mengenakannya.
Celana cekak musang dilengkapi dengan pemaiakan sarung dari kain songket berbahan dasar sutra. Kain sarung seperti Ija Lamgugap, Ija sangket atau Ija krong ini akan diikatkan kebagian pinggang dengan batas panjang lutut atau sekitar 10 cm di atas lutut.
3. Baju Meukeusah
Baju Meukeusah adalah baju khas Aceh berbahas halus nan mahal yang terbuat dari hasil tenunan anak bangsa. Baju adat Aceh ini biasanya mempunyai warna dasar hitam. Kabarnya, warna hitam adalah simbol kebesaran dalam adat Aceh.
Ada bauran adntara budaya Aceh dengan China pada baju ini. Anda bisa melihatnya di kerah baju, yaitu sulaman benang emas seperti pada kerah baju China. Sejarahnya, pelaut China zaman dhulu kala berlayar sampai ke laut Aceh.
4. Senjata Tradisional Pada Pakaian Adat Aceh
Hampir sama dengan pakaian adat dari daerah lain, pakaian adat Aceh juga dilengkapi dengan penggunaan senjata tradisional pada daerah terntentu. Senjata tradisional Aceh tersebut bernama Rencong.
Rencong adalah senjata tradisional kha Aceh yang umumnya biasanya diselipkan ke bagian lipatan sarung atau di bagian pinggang. Di bagian gagang atau kepala rencong akan menonjol keluar.
5. Baju Kurung Aceh
Baju atasan untuk wanita Aceh adalah baju kurung lengan panjang. Baju kurung ini mempunyai kerah dan motif sulaman benang emas yang khas seperti baju China. Melihat dari bentuknya, baju ini terbilang gombor panjang hingga pinggul untuk menutup seluruh lekuk dan aurat tubuh dari yang mengenakannya. Konon, dari bentuk dan motifnya tersebut, menunjukan bahwa baju ini adalah hasil perpaduan budaya Melayu, Arab, dan Tionghoa.
6. Celana Cekak Musang
Untuk jenis celana Aceh yang ini, celana yang dipakai pada pakaian adat Aceh untuk pria dan wanita sama saja. Celana cekak musang dilengkapi dengan lilitan sarung sepanjang lutut sebagai penghiasnya. Anda akan dengan mudah melihat wanita Aceh memakai celana ini, yaitu ketika ada pertunjukan tari Saman.
7. Penutup Kepala dan Perhiasan Wanita Aceh
Sesuai dengan julukan serambi Mekkah yang ada, pakaian adat dari Provinsi Aceh untuk wanita sebisa mungkin dibuat menutup seluruh auratnya, termasuk pada bagian kepalanya. Karena rambut wanita adalah aura yang tidak boleh dilihat selain mahramnya.
Pada bagian kepala wanita Aceh ditutup dengan kerudung bertahtakan bunga-bunga segar yang disebut patham dhoi. Kepala dan bagian tubuh lainnya juga akan dilengkapi dengan beragam pernik perhiasan seperti tusuk sanggul anting, gelang, kalung, dan lain sebagainya.
8. Tutup Kepala untuk Baju Adat Aceh
Jika tadi adalah penutp kepada untuk wanita Aceh, amak sekarang adalah kopiah sebagai penutup kepala pelengkap pakaian adat Aceh yang dipakai oleh pria Aceh. Kopiah ini bernama Meukeutop.
Meukotop adalah kopiah berbentuk lonjong ke atas, kopiah ini dilengkapi oleh lilitan Tangkulok. Lilitan ini terbuat dari tenunan sutra berbahan emas yang berbentuk bintang segi 8 (delapan).
B. Upacara Adat Pernikahan
Ada beberapa tahapan dalam Adat Perkawinan Aceh, yaitu:
Tahapan melamar (Ba Ranup)
Ba Ranup (ba-membawa ranup-sirih) merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan.
Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut seulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika seulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.
Pada hari yang telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari pihak pria ke rumah orangtua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya. Setelah acara lamaran selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
Tahapan Pertunangan (Jak ba Tanda)
Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukong haba (peukong-perkuat, haba-pembicaraan) yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeulamee) yang diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jak ba tanda jak-pergi, ba-membawa tanda-tanda,artina berupa pertanda sudah dipinang-cincin).
Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng (ketan berwarna kuning) dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.
Pesta Pelaminan
sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (memakai inai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. adat ini kuat dipengaruhi oleh india dan arab. namun sekarang adat tersebut telah bergeser menjadi pengantin perempuan saja yg menggunakan inai.
kemudian dilakukan persiapan untuk ijab kabul. Dahulu ijab kabul dapat dilakukan di KUA atau di meunasah musala dekat rumah tanpa dihadiri pengantin wanita. namun sekarang berkembang dengan ijab kabul yg dilakukan di Mesjid-Mesjid besar terutama di Mesjid Raya Baiturrahman, yang dihari kedua mempelai berserta keluarga dan undangannya. Ijab Kabul pengantin pria kepada wanita dihadiri oleh wali nikah, penghulu, saksi dan pihak keluarga.
Biasanya lafaznya berupa bahasa aceh "ulon tuan peunikah, aneuk lon (apabila ayah perempuan yg mengucapkan)....(nama pengantin perempuan) ngon gata (nama pengantin laki-laki) ngon meuh...(jumlah mahar yang telah disepakati) mayam "
Jawabannya ulon tuan terimong nikah ngon kawen.. (nama pengantin) ngon meuh.. (jumlah mahar yang telah disepakati) mayam, tunai " Ada beberapa lafaz yang berbeda, disesuaikan dengan kesepakatan dan adat setempat.
Pesta pelamina dilakukan setelah melangsungkan ijab kabul antara sang calon pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan, Baik dilakukan pada hari yang sama maupun pada lain hari, yaitu disebut juga acara tueng linto baro. pesta pelaminan ini bertujuan selain merayakan kebahagian juga untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada seluruh kaum kerabat.
Tueng Lintoe Baroe
Tueng Linto baroe (tueng-menerima, linto-laki-laki, baroe-baru) yaitu menerima pengantin pria adalah yaitu menerima pengantin laki-laki oleh pihak perempuan, penerimaan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Pengantin laki-laki datang ke pesta beserta rombogan (keluarga & kerabat). Rombongan disuguhkan hidangan khusus disebut idang bu bisan (idang-hidangan, bu-nasi bisan-besan). Setelah selesai makan, maka rombongan linto baro minta izin pulang kerumahnya, sedangkan pengantin pria tetap tinggal untuk disanding dipelaminan hingga acara selesai.
Tueng Dara Baroe
Tueng dara baroe adalah suatu hal yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan kata lain adalah penjemputan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Acara ini sama dengan yang diatas namun pihak perempuan yang pergi ke acara pihak laki-laki.
Mahar (Jeulamee)
Dalam adat istiadat Ureung Aceh, hanya dikenal mahar berupa emas dan uang. Mahar ditiap aceh berbeda. Dibagian Barat Aceh mahar berupa emas yang diberikan sesuai kesepakatan, biasanya berjumlah antara belasan sampai puluhan mayam. Sedangkan didaerah Timur, mahar yang diajukan dibawah belasan tapi menggunakan uang tambahan yaitu disebut "peng angoh" (peng-uang, angoh-hangus), hal ini dilakukan untuk membantu pihak perempuan untuk menyelenggarkan pesta dan membeli isi kamar. Mahar biasanya ditetapkan oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik memiliki mahar yang terus naik atau minimal sama. Namun semua hal tentang mahar ini dapat berubah-ubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Idang & Peuneuwoe
Idang (hidang) danPeunuwo atau pemulang adalah hidangan yang diberikan dari pihak pengantin kepada pihak yang satunya. Biasanya pada saat Intat linto baro (mengantar pengantin pria), rombongan membawa Idang untuk pengantin wanita berupa pakaian, kebutuhan dan peralatan sehari-hari untuk calon istri. dan pada saat Intat dara baro (mengantar pengantin wanita), rombongan akan membawa kembali talam yg tadinya diisi dgn barang-barang tersebut dgn makananan khas aceh seperti bolu, kue boi , kue karah , wajeb, dan sebagainya, sebanyak talam yang diberikan atau boleh kurang dengan jumlah ganjil. Adat membawa-bawa baik barang ataupun kue dalam adat Aceh sangatlah kental apalagi dalam sebuah keluarga baru. Saat pengantin baru merayakan puasa pertama atau lebaran pertama dan pergi kerumah salah satu kerabatnya untuk pertama kali maka wajiblah dia membawa makanan. Dan adat ini terus berlangsung hingga sang istri punya anak, yakni mertua membawa makanan dan sang istri membalasnya.
Peusijuek
Peusijuek (pendingin) adalah adat istiadat aceh dari India juga, namun sudah beradaptasi dengan budaya Islam. Peusijuek dilakukan untuk memberi semangat, doa dan restu kepada orang yg dituju. pada pernikahan maka kedua belah pihak keluarga akan melakukan Peusijuek ditiap kesempatan. biasanya sebelum dan setelah ija kabul, ketika dipelaminan di kedua acara. Peusijuek adalah salah satu tradisi Aceh yang dilakukan pada kegiatan apapun seperti naik haji, mempergunakan barang baru seperti rumah atau kendaraan, bayi yang turun tanah, ibu yang hamil dan sebagainya.
Adat diatas adalah adat yg biasanya dilakukan suku aceh. Hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah hilang di dalam kultur budaya Pidie, Aceh Besar, Bireuen dan sekitarnya. Untuk daerah timur dan sekitarnya yaitu untuk suku-suku lainnya, mungkin ada beberapa penambahan dan pengurangan.
C. Upacara-Upacara Adat Aceh
Baiklah, tanpa berlama lagi, berikut kita bahas satu persatu mengenai upacara adat Aceh yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber. Selamat menyimak!
1. Upacara Troen U Blang
Troen U Blang ialah upacara hajat kenduri yang dilakukan masyarakat Aceh saat musim tanam padi dimulai. Dengan kegiatan ini, mereka berharap agar tanaman padi bisa panen dengan melimpah dan menambah penghasilan ekonomi.
2. Upacara Tulak Bala (Tolak Bala)
Dalam hidup sudah pasti ada bala yang sedianya sebisa mungkin dihindarkan oleh manusia yang dhidup didunia. Setiap manusia berbeda dalam menghalau bala yang akan datang. Nah, cara unik dilakukan oleh masyarakat Aceh. Dimana mereka melakukan upacara yang dinamakan Upacara Tulak Bala (Tolak Bala).
Tradisi Tolak Bala ini dilakukan atas dasar pandangan bahwa bulan Shafar adalah bulan panas dan banyak naasnya yang biasa membawa bahaya. Tradisi ini kerap dilakukan oleh masyarakat Aceh bagian Barat-Selatan khususnya masyarakat Aceh Barat Daya setiap satu tahun sekali.
3. Upacara Peutron Aneuk
Masyarakat Aceh akan menggelar upacara ini ketika adanya lahir anak bayi. Peutron Aneuk digelar memang untuk menyambut sang buah hati yang baru lahir kedunia. Untuk waktunya, menang terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya, yakni : ada warga yang melaksanakan upacara ini pada hari ke-7 setelah kelahiran, dan ada juga yang menyelenggarakannya pada hari ke-44 usai kelahiran bahkan ada pula yang melangsungkannya setelah bayi berumur lebih dari satu tahun.
Sekedar gambaran pelaksaannya, yaitu prosesi acara ini banyak melibatkan ritual-ritual simbolik, salah satunya yaitu bagian dimana sehelai kain direntangkan di atas kepala bayi, sebutir kelapa kemudian dibelah di atas kain. Kelapa yang telah dibelah akan diberikan kepada kedua belah pihak orang tuanya sebagai simbol dan juga harapan tetap terjadinya kerukunan di kedua belah pihak.
Pemahaman yang diyakini lainnya oleh masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa tujuan pembelahan buah kelapa dimaksudkan agar si bayi tidak mudah takut dengan suara petir yang datang tiba – tiba.
4. Upacara Samadiyah
Kegiatan Samadiyah bagi masyarakat Aceh merupakan tradisi doa bersama untuk orang yang baru meninggal dunia. Waktu pelaksanaan Samadiyah umumnya dilakukan selama tujuh malam berturut-turut usai kepergian almarhum/ah. Pasca kematian anggota keluarga, maka rumah duka tidak sepi. Masyarakat ramai datang untuk “menghibur” keluarga ahli musibah. Selain doa bersama, rangkaian acara juga diisi dengan zikir dan pembacaan surat Yasin.
5. Upacara Meugang
Pelaksanaan Meugang bagi masyarakat Aceh ialah tradisi paling menarik yang terjadi di Aceh yang sampai kini masih dilestarikan. Bagi yang penyuka daging sapi atau kambing (Baca : Aqiqah Medan), momen inilah yang tepat untuk melampiaskannya. Pada saat Meugang, rumah-rumah warga Aceh akan dipenuhi aroma masakan yang menggugah selera. Pada tradisi Meugang, daging yang telah dimasak akan dinikmati bersama keluarga dan kerabat serta dibagi-bagikan pada anak yatim/piatu dan kaum dhuafa. Dalam setahun, acara Meugang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh sebanyak tiga kali, yakni masing-masing dua hari sebelum Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.
6. Upacara Ba Ranub Kong Haba
Ketika sepasang kekasih di Aceh hendak melaksanakan pernikahan, maka harus melakukan prosesi upacara Ba Ranub Kong Haba. Untuk waktu pelaksanaanya, biasanya antara calon pengantian pria dan wanita sudah menyepakatinya. Bisa juga menerima masukan dari pihak orang tua atau sanak famili.
Saat hari H, datanglah serombongan orang tua dari pihak calon pengantin pria kepada pihak orang tua calon pengantin wanita untuk melaksanakan acara pertunangan. Kedatangan pihak pengantin pria biasanya tidak tangan kosong, melainkan mereka membawa sirih penguat ikatan (ranub kong haba), yaitu sirih lengkap dengan alat-alatnya dalam cerana, pisang talon (pisang raja dan wajib satu talam). Selain itu, juga dibawa benda mas satu atau dua mayam dengan ketentuan menurut adat.
Lalu bagaimana jika pernikahan tidak jadi dilaksanakan? Kalau ikatan ini putus disebabkan oleh pihak pria, tanda mas tersebut harus dikembalikan dua kali lipat. Pada upacara ini juga ditentukan hari dan bulan diadakannya pernikahan dan pulang pengantin.
7. Upacara Jeulame
Pada adat istiadat masyarakat Aceh, bicara mahar hanya dikenal berupa emas dan uang. Setiap daerah mempunyai kebiasaan berbeda terkait jumlah Maharnya. Pada bagian Barat Aceh mahar berupa emas yang diberikan sesuai kesepakatan, biasanya berjumlah antara belasan sampai puluhan macam. Dan sedangkan didaerah Timur, mahar yang diajukan dibawah belasan tapi menggunakan uang tambahan yaitu disebut “peng angoh” (peng-uang, angoh-hangus).
Tujuan dari kebiasaan diatas adalah untuk membantu pihak perempuan dalam menyelenggarkan pesta dan membeli isi kamar. Jumlah Mahar berdasarkan kebiasaan yang berlaku ditetapkan oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik memiliki mahar yang terus naik atau minimal sama. Tetapi semua hal tentang mahar ini dapat berubah-ubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Masyarakat Aceh yang mayoritas beragam Islam sejatinya paham tentang ajarannya yang tidak memberatkan terkait mahar.
8. Upacara Idang dan Peuneuwoe
Masih terkait dengan pernikahan bagi masyarakat Aceh dan kali ini nama tradisinya adalah Idang (hidang) dan Peunuwo atau pemulang adalah hidangan yang diberikan dari pihak pengantin kepada pihak yang satunya. Pada umumnya saat Intat Linto Baro (mengantar pengantin pria), rombongan dari pihak tersebut membawa Idang untuk pengantin wanita berupa pakaian, kebutuhan dan peralatan sehari-hari untuk calon istri. Dan pada saat Intat Dara Baro (mengantar pengantin wanita), rombongan akan membawa kembali talam yang tadinya diisi dengan barang-barang dan makananan khas Aceh seperti bolu, kue boi, kue karah, wajeb, dan sebagainya.
9. Upacara Troen U Laoet
Kebiasaan yang berlaku di masyarakat Aceh yang merupakan upacara hajat semacam kenduri yang dilakukan pada saat musim melaut. Bertujuan sebagai rasa syukur agar hasil ikan di laut melimpah. Kegiatan ini biasanya dilakukan bagi warga yang berprofesi sebagai nelayan dengan mengundang jiran tetangga untuk hadir. Atau untuk kepentingan bersama para nelayan, maka acara kenduri dilakukan secara bersama.
Tantangan dilaut zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Akibat serakahnya manusia, ada alat penangkap ikan di laut yang bernama pukat harimau, pukat grandong, pukat cencen dan sebagainya. Semua alat tersebut sangat merugikan para nelayan tradisional.
10. Upacara Peusijuk
Tradisi ini berlaku untuk siapa saja, bisa anak yang hendak sunnah Rosul, warga yang mau pergi haji, mereka yang hendak menempati rumah baru, para pengantin baru dan kegiatan lainnya. Harapan dari kegiatan ini adalah terwujudnya hidup bahagia dan tentram.
Informasi tambahan terkait dengan tata cara pelaksanaan Peusijuek bisa Anda temukan dilaman internet. Namun pada kesempatan ini kami akan coba paparkan sedikit, pertama dengan menaburkan beras padi (breuh padee), kedua menaburkan air tepung tawar, ketiga menyunting nasi ketan (bu leukat) pada telinga sebelah kanan dan terakhir adalah pemberian uang (teumutuek).
D. Upacara Kematian
Diawali dengan pengurus meunasah (surau) membuat pengumuman berita duka melalui pengeras suara (microphone) kepada masyarakat kampung setempat. Berita tersebut biasanya dibawa oleh salah satu anggota keluarga yang sedang berduka kepada imum meunasah (imam surau) atau pun bileu meulasah (bilal/khadam) yang telah diangkat oleh masyarakat.
Pengumuman dilakukan tidak berselang lama dengan waktu atau saat orang meninggal, kecuali terjadi saat tengah malam. Jika seperti itu, maka pengumuman dilakukan pada saat waktu shalat subuh.
Dengan telah diberitahukan secara luas kepada seluruh masyarakat dimana mendiang orang meninggal berdomisili, maka seketika warga masyarakat pun berdatangan ke rumah duka. Tidak terkecuali orang tua, anak muda, bahkan kaum ibu-ibu dan remaja putri pun ikut berkunjung ke rumah duka.
Sesampai di rumah duka, masing-masing warga masyarakat tanpa ada yang memberikan perintah, langsung membantu pihak keluarga yang sedang mengalami musibah tersebut. Ada yang mengurusi tempat atau membersihkan rumah duka agar terlihat lebih bersih dan rapi, (karena warga kampung tetangga juga akan datang melayat, sehingga tuan rumah tidak merasa malu karena rumahnya tidak terurus selama mengurusi orang sakit, sebelum meninggal).
Pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu dan remaja putri, menyapu halaman, bagian dalam, terutama yang tidak mengganggu acara persiapan mayat untuk dikuburkan. Setelah semua bagian dianggap sudah lebih bersih atau rapi, kemudian ibu-ibu dan remaja putri menyiapkan beberapa kebutuhan para laki-laki yang akan bekerja menyiapkan kuburan yaitu menggali kubur pada tempat yang telah ditentukan oleh pihak keluarga duka.
Menyiapkan minuman dan makanan ringan alakadarnya, seperti teh, kopi dan kue kering semacam roti atau kue-kue lainnya yang tersedia. Persediaan untuk persiapan para penggali kubur berkisar 4-5 orang.
Sementara diluar rumah, sebagian kaum laki-laki menyiapkan tenda tempat para tamu takziah. Ada yang membantu menjemput meja, kursi, peralatan lainnya yang memang khusus disiapkan untuk acara-acara kenduri kematian seperti ini ataupun acara pesta (perkawinan). Lalu mereka mengatur tempat duduk sedemikian rupa agar suasana duka dapat dijaga dengan khidmat.
Semua peralatan dan perlengkapan tersebut adalah milik desa atau milik bersama. Siapapun boleh pinjam dan menggunakan demi kepentingan warga desa. Asal saat menggunakan barang-barang tersebut tetap dijaga agar tidak rusak dan hilang. Jika mengalami kerusakan atau kehilangan, maka pihak peminjam (keluarga) harus menggantikannya. Begitu kesepakatan warga.
Prosesi Memandikan Mayat
Didalam rumah sendiri, sejumlah tengku (rohaniwan) sedang melakukan persiapan untuk proses tajhiz mayat (memandikan dan mengkafankan). Kain kafan yang diperlukan seyogyanya sudah disediakan oleh pihak keluarga duka, namun di berbagai desa di Pidie saat ini untuk masalah kain kafan sudah tersedia di desa. Bahkan di tingkat desa ada pengurus kematian yang salah satu tugasnya adalah menyiapkan seluruh kebutuhan prosesi tajhiz mayat.
Setelah kelengkapan kain kafan yang diperlukan tersedia dan mencukupi, tengku pun memanggil beberapa anggota keluar mendiang untuk membicarakan pemandian jenazah. Diperlukan paling sedikit 2-3 orang untuk membantu memandikan mayat. Jika mayatnya laki-laki, maka seluruh yang memandikan juga laki-laki, begitu pula sebaliknya kalau jenazahnya perempuan, maka yang memandikan juga tengku perempuan.
Waktu yang dibutuhkan untuk memandikan jenazah biasanya antara 1-2 jam, sangat tergantung bagaimana kondisi tubuh mayat yang dimandikan tersebut. Yang penting mayat harus bersih dan suci setelah dimandikan. Semua proses dilakukan dengan cara Islam. Sebagaimana diketahui masyarakat Aceh pada umumnya adalah muslim.
Prosesi Mengkafankan Jenazah
Setelah kegiatan memandikan selesai, maka langkah selanjutnya adalah mengkafankan. Pada prosesi ini, mayat yang sudah suci, ditempatkan diatas tempat tidur yang sudah disiapkan. Mayat diangkat ramai-ramai ke tempat dimana acara mengkafankan dilakukan.
Dengan kain putih beberapa lapis tersebut, jenazah kemudian diikat pada tiga bagian tubuh yang telah dibalut dengan kafan sebelumnya.
Prosesi ini semuanya berjalan dibawah pengawasan seorang tengku yang dipercaya. Beliaulah yang faham tentang prosesi tersebut termasuk doa-doa yang harus dibacakan pada setiap fase prosesi. Setelah tengku menyatakan sudah sempurna pada tahap memandikan dan mengkafakankan. Maka seseorang diminta untuk memeriksa apakah para penggali kubur sudah siap untuk menguburkan mayat? Jika mereka mengatakan telah siap, maka tengku kemudian memanggil lagi pihak keluarga. Dan menanyakan apakah semua anggota keluarga sudah berkumpul atau apakah masih ada pihak keluarga yang perlu ditunggu sebelum jenazah dikebumikan?
Kalau keluarga yang berduka mengatakan semua sudah berkumpul dan tidak ada lagi pihak manapun yang perlu ditunggu, maka tengku pun memerintahkan untuk menshalatkan mayit sesegera mungkin.
Prosesi Melakukan Shalat Jenazah
Maka seorang imam ditunjuk untuk memimpin shalat jenazah, diikuti oleh seluruh warga, keluarga dekat maupun keluarga jauh bahkan ada juga beberapa warga desa tetangga. Setelah selesai shalat, Imam memberikan tausiyah singkat pelepasan jenazah untuk dikuburkan. Pada terakhir kalinya seluruh warga dapat menyaksikan seorang teman, sahabat, saudara, adik, abang, kakak, atau siapapun yang kini terbujur kaku dan akan dibawa untuk dikuburkan.
Artinya setelah ini tidak dapat lagi dilihat untuk selama-lamanya. Saat itulah kemudian Imam menanyakan kepada seluruh hadirin yang hadir, "apakah bapak/ibu sudah memaafkan segala dosa mayat saudara kita ini"? Lalu dijawab oleh seluruh para hadirin dengan serentak "alhamdulillah, sudah".
Selanjutnya jenazah pun dibawa ketempat kuburan yang telah disiapkan. Sampai semua prosesi ini selesai, para warga kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan kegiatan yang tertunda karena wajib menghadiri le rumah warga atau keluarga yanh sedang berduka/mengalami musibah.
Kenduri 7 Hari 7 Malam
Meskipun begitu, acara kematian ini belum selesai. Seluruh warga kembali hadir ke rumah duka saat selesai shalat magrib malam itu. Mereka biasanya melakukan tahlil atau membaca doa secara bersama-sama secara khusus kepada almarhum/ah.
Dipimpin oleh imam meunasah (imum surau), tahlil dan tahmid pun dibacakan. Pada malam pertama biasanya hanya warga setempat yang melakukan takziah. Namun pada malam berikutnya bisa dari desa tetangga secara bergiliran.
Takziah semacam ini sendiri berlangsung sampai 7 hari 7 malam. Para warga yang ikut takziah, pada malam pertama diberikan makan malam (kenduri bu), dihidangkan kenduri atau nasi dengan menu alakadar khas kematian. Dengan kuah sayur dan ikan asin, kerupuk, telor sambal, dan pelengkap lainnya yang sangat sederhana.
Namun pada malam kedua sampai malam keenam, warga yang bertakziah disuguhi minuman dan kue ringan. Biasanya disediakan teh, kopi, bandrek, atau minuman ringan lainnya.
Tradisi ini berlangsung sampai semua prosesi acara kematian selesai dilaksanakan, yaitu pada hari ketujuh. Namun uniknya tradisi ini berlangsung dengan sifat gotong royong. Meskipun diberikan makanan, minuman, dan bahkan potong kambing atau lembu. Para warga ikut membantu dan menyumbang. Ada yang memberikan beras, minyak goreng, kelapa, pisang, sampai uang. Semua itu dilakukan untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka atau mengalami musibah.
DOWNLOAD MAKALAH LENGKAPNYA DISINI
0 Comment to "Adat dan Upacara Pernikahan Aceh"
Post a Comment