Tuesday, May 9, 2017

Makalah Hukum Monogami, Poligami dan Perceraian Dalam Islam

MAKALAH HUKUM PERNIKAHAN
MONOGAMI, POLIGAMI DAN PERCERAIAN DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
      Segala sesuatu di alam wujud ini, diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”(adz-Dzaariyaat:49).
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama. Untuk memberikan jalan terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus didahului, yaitu perkawinan.
Untuk mengetahui sejauh mana hukum pernikahan dan perceraian dalam Islam. Perlu dilihat antara lain, bagaimana sikap Islam mengenai  monogami, poligami dan perceraian. Karena masih banyak yang menganggap hukum Islam itu tidak adil sehubungan dengan sikap Islam yang membolehkan kaum pria menikah dengan wanita, lebih dari satu dan jika ditinjau kembali poligami menimbulkan banyak kemudaratan yang ditimbulkan, tidak sedikit pula yang menyebabkan perceraian.
Dalam uraian berikut akan sedikt membahas masalah monogami, poligami dan perceraian menurut Islam.

B.   Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah monogami dan poligami menurut Islam?
2. Bagaimanakah perceraian menurut Islam?

C.  Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hukum monogami dan poligami menurut islam
2. Untuk mengetahui hukum perceraian menurut islam
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Monogami dan  Poligami Menurut Islam
1.  Pengertian monogami  dan poligami.
Asas perkawinan dalam Islam pada dasarnya adalah monogami. Monos berarti satu dan gamos berarti perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan dimana hanya mengawini satu istri saja.
Sedangkan poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama[1]
Asas monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
2.   Sejarah dan Jenis Poligami
Poligami atau paling tepatnya poligini, ada di setiap zaman. Sebelum Nabi Muhammad tampil ke muka bumi. Poligami ini telah di lakukan oleh orang-orang Arab, orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan bangsa-bangsa lainnya di Dunia[2]
Di dalam masyarakat manusia terdapat beberapa bentuk poligami, yaitu seorang wanita memiliki banyak suami (poliandri), gabungan antara poligami dan poliandri, serta seorang suami yang memiliki banyak istri (poligami). Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal (Monogami) dan juga free sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki tanpa perkawinan yang sah.[3] Diantaranya tiga macam poligami tersebut yaitu:
    a. Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri)
Dalam sistem perkawinan poliandri, banyak laki-laki mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di berbagai wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini bersama seorang wanita. Jika laki-laki tertua menikahi seorang wanita, maka saudara laki-lakinya yang lain turut memiliki wanita tersebut. Pemuda yang tidak memiliki saudara-saudara maka akan sulit mendapatkan pasangan hidup. Didalam komunitas masyarakat india, seorang wanita boleh memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan.
b. Gabungan Poligami Dengan Poliandri
Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari wanita sebagai suami istri dengan hak yang diakui antara mereka. Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat daerah pegunungan Tibet, pegunungan Himalaya India, dan Australia. Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki yang menggauli adik dan kakak sendiri. Perkawinan tersebut mereka namai sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a).  Diperbolehkan laki-laki mengawini beberapa wanita baik saudaranya sendiri maupun orang lain.
b). Diperbolehkan seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan polinesia dan India. Di selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari  adik adik-adik suaminya. Dan mereka sekaligus menjadi suami adik-adik wanita tersebut. Anak  pertama yang lahir bernasab kepada saudara tertentu, dan anak kedua bernasab kepada adiknya, sebegitu seterusnya.
c. Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami)
Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum islam di setiap masyarakat yang beradapan tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat cina, India, Mesir, Arab Persia, Yahudi, sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Borwegia, dan lain-lain
Praktik poligami pun dikenal di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam sunan Turmudzi disebutkan bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk islam memiliki sepuluh orang istri. Masyarakat yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas jumlah wanita yang dinikahinya. Di dalam taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak, dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri[4]
3.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poligami
Menurut Abu Azzam Abdillah, banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk melakukan poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat, tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.
a. Faktor- Faktor Biologis
1). Istri yang Sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya. Bagi suami yang shaleh akan memilih poligami dari pada energi ke tempat–tempat mesum dengan sejumlah wanita pelacur
2). Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.

b. Faktor Internal Rumah Tangga
Menurut buku ‘Hitam Putih Poligami’, terdapat beberapa faktor internal rumah tangga yang mendorong suami untuk berpoligami.
 1). Kemandulan
Banyak kasus perceraian yang dilator belakangi oleh masalah kemandulan , baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dilakukannya.
Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati dan ridha bila sang suami menikahi wanita lain yang dapat memberikan keturunan. Di sisi lain, sang suami tetep memposisikan istri pertamanya sebagai orang yang mempunyai tempat di hatinya, tetap dicintainya, dan hidup bahagia bersamanya.
2). Istri yang Lemah
Ketika sang suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas , tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya,serta bentuk-bentuk kekurangan lainnya.maka pada saat itu,kemungkinan suami melirik wanita lain yang dianggapnya lebih baik,bisa saja terjadi.dan sang istri hendaknya berlapang dada bahkan berbahagia,karena akan ada wanita lainyang membantunya memecahkan persoalan rumah tangganya,tanpa akan kehilangan cinta dan kasih saying suaminya.
c. Faktor  Sosial
1). Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, pada PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria hanya 48%, sedangkan pemilih wanita sebanyak 52%. Berarti dari jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah wanita adalah 57,2 juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para pemilih itu merupakan usia siap nikah.
2). Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum pria adalah semakin bertambahnya jumlah perempuan yang kehilangan suami dan terpaksa harus hidup menjanda.lalu siapakah yang akan bertanggung jawab mengayomi,memberi perlindungan dan memenuhi nafkah lahir dan batinnya,jika mereka terus menjanda?solusinya tida lain,kecuali menikah lagi dengan seorang jejaka,atau duda,atau memasuki kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri.itulah solusi yang lebih mulia,halal dan baradab.
3). Lingkungan dan Tradisi
Lingkungan tempat saya hidup dan beraktivitas sangat besar pengaruhnya dalam mempentuk karakter dan sikap hidup seseorang. Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan poligami, jika ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi poligami.
Sebaliknya ia akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap poligami sebagai hal yang tabu dan buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para pelakunya.
4). Kemapanan Ekonomi
Inilah salah satu motivator poligami yang paling sering saya dapati pada kehidupan modern sekarang ini. Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri lebih dari satu.
4.  Beberapa Pendapat Mengenai Poligami
Selama ini poligami menjadi masalah yang sangat kontraversial dalam Islam. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami adalah bagian dari syarat islam dan karena itu pria boleh memiliki istri hingga empat orang kalau mau. Bahkan tanpa perlu alasan apapun. Di lain pihak, kaum modernis dan pejuang hak-hak asasi wanita berhadapan bahwa poligami diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa keadilan bagi semua istri
 Menurut kaum modernis, pria tidak bisa begitu saja mengambil lebih dari satu istri hanya karena dia menyukai wanita lain atau jatuh cinta dengan kecantikannya. Mereka juga berpendapat bahwa norma Al-Qur`an sesungguhnya adalah monogami tetapi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, itu pun, sekali lagi, disertai persyaratan keadilan yang sangat ketat
Pejuang hak-hak wanita juga berpendapat bahwa pria tidak diciptakan oleh Allah sebagai hewan seksual semata sehingga dia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya selama istrinya mengalami menstruasi atau nifas. Ribuan pria bisa menahan diri, tidak semua pria berkecendrungan ke arah perkawinan poligami. Kebanyakan pria justru cenderung monogami. Mereka dapat menahan diri dari kegiatan seksual ketika istri sakit lama dan tidak bisa tinggal bersama mereka. Bahkan ketika sang istri sakit tanpa ada harapan sembuh. Mereka dapat melanjutkan kehidupan tanpa kegiatan seksual dan pengorbanan ini layak dilakukan demi hubungan kasih seumur hidup di antara suami istri.[5]
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berumah tangga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka terhadap perasaan cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya
5.  Hikmah Poligami
Terlepas dengan aturan-aturan mengenai poligami, terselip hikmah diizinkannya poligami dalam kedaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
a.   Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
b.   Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak mampu menjalankan tuganya sebagai istri, atau ia mendapat cacat, penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.   Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
d.   Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negeri yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
6.  Dampak Negatif Poligami 
Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat dampak negatif poligami, di antaranya:
a.         Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.
b.        Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.
c.         Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
d.        Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan

B.   Perceraian Menurut Islam
1.  Pengertian Talak
Talak diambil dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau irsal (memutuskan) atau tarkun(meninggalkan), firaaqun (perpisahan). Yang dimaksud talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafazh talak atau sebangsanya[6]
Dalam istilah fiqih, perkataan talaq mempunyai dua arti yaitu arti yamg sudah umum dan arti yang khusus. Talaq menurut arti yang umum ialah segala bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinyaatau perceraian karena meninggalkan salah satupihak. Talaq dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami.
Sebagaimana disebutkan diatas talak mempunyai arti umum dan khusus, dan arti uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud mentalak atau menceraikan istri adalah melepaskan istri dari ikatan perkawinan yang mempunyai masa tunggu tertentu apabila dalam  masa tunggu itu si suami tidak merujuknya sehingga habis masa iddahnya maka tidak halal lagi hubungan suami istri kecuali dengan akad nikah baru.
Jadi perceraian itu putusnya ikatan perkawinan akibat kesengajaan yang disengaja oleh suami atau istri dengan sadar atau tidak terpaksa.
2.  Hukum Perceraian
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum asal perceraian, jumlah hukum dan alasan-alasan tertentu yang digunakan sebagai alas an perceraian. Di kalangan ulama Hanafiah ada dua pendapat mengenai hukum asal perceraian :
a.    Jaiz, pandanagn ini dianggap lemah
b.    Makruh tahrim, dikatakan bahwa ini adalah hukum yang benar.
Ulama maliki berpendapat, sesungguhnya hukum perceraian adalah makruh dan hukumnya haram apabila perceraian itu mengakibatkan perbuatan zina.
Telah kita ketahui bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tidak selamanya seperti yang diidamkan, kadang-kadang terhalang oleh keadaan-keadaan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Misalnya pasangan suami istri yang sangat mengharapkan kehadiran seorang anak dalam perkawinannya, namun salah satu pihak suami atau istri ternyata mandul, terkadang pasangan suami istri tersebut dapat menerima kenyataan pasangannya yang mandul, tetapi ada juga yang tidak bisa menerima akhirnya timbul percekcokan yang terus menerus dan sangant sulit dihindari. Dalam keadaan yang seperti ini kadang-kadang juga sampai berlarut-larut dan sulit untuk diatasi, ditakutkan perselisihan suami istri akan mengakibatkan permusuhan antara keluarga kedua belah pihak. Dengan demikian maka jalan satu-satunya untuk menciptakan kemaslahatan, Islam mensyari’atkan perceraiansebagai alternative terakhir.
. Walaupun Islam menganjurkan perceraian bukan berarti boleh melakukan perceraian dengan semaunya, akan tetapi harus ada alas an-alaan yang sah dan dapat dibenarkan oleh syari’at Islam. Dari jenis alasan-alasan itu maka dijadikannya hukum perceraian itu berbeda-beda. Tentang hukum perceraian ini dapat digolongkan menjadi empat golongan:
a.       Golongan yang menyatakan hukum asal perceraian itu makruh atau mendekati makruh. Pendapat ini dilegimitasi oleh Maliki.
b.      Golongan yang menyatakan bahwa hukum asal perceraian dikategorikan sebagai jaiz dan haram, yaitu boleh dan terlarang. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.
c.       Golongan yang menyatakan bahwa hukum asal perceraian adalah antara terlarang dan makruh. Pendapat ini dikemukan oleh al Kasani.
d.      Sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukum asal perceraian adalah mubah.
Sedangkan apabila dilihat dari sudut latar belakang munculnya talak, maka talak terbagi dalam lima kategori :
a.      Talak wajib
Yakni talak yang dijatukan oleh hakam (penengah) karena perpecahan anatara suami istri yang sudah hebat, maka hakam berpendapat bahwa hanya talak yang merupakan jalan satu-satunya jalan untuk menghentikan adanya perpecahan itu.
b.      Talakharam
Yakni apabial talak merugikan suami istri, dan apabila perbuatan talak itu tidak ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
c.       Talaksunnah
Yakni apabila talak dilakukan karena salah satu pihak melalaikan atau mengabaikan kewajiban untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa dan lain sebagainnya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istrinya menjalankan kewajiban tersebut atau istri tidak punya rasa malu.
d.      Talak mubah
Karena adanya suatu sebab istri tidak dapat menjaga diri dan harta suaminya dikala tidak ada suaminya atau karena istri tidak baik akhlak dan budi pekertinya.
e.       Talak makruh
Yakni talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri yang salehah atau yang berbudi pengerti yang mulia.

Menurut Ibn Qayyim, hak untuk menjatuhkan Thalaq melekat pada orang yang manikahinya. Apabila hak menikahi itu pada suami, hak talaq menjadi hak suami. Tentang hukum asal talak, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa talak itu terlarang, kecuali bila disertai alasan yang benar. Menurut mereka, talak itu kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Alloh, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat dan Alloh dan kufur terhadap nikmat Alloh adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat.[7]
3.  Rukun Talak
Adapun rukun talak itu sendiri ada tiga yaitu:
a.       Orang yang menceraikan (suami), Syaratnya : Mukallaf dan tanpa paksaan dari orang lain, yakni kemauannya sendiri
468*60
b.      Ungkapan talak (shighat/lafadz talak)
c.       Orang yang diceraikan (istri)
4.  Prinsip Dalam Menjatuhkan Talak
Talak hanya boleh dijatuhkan kalau memang sangat diperlukan dan merupakan satu-satunya solusi. Itupun setelah melalui usaha-usaha internal maupun eksternal dengan melibatkan hakamain. Talak sebagai emergency exit, baru dibuka kalau memang benar-benar dalam keadaan darurat. Jadi, jelaslah bahwa penjatuhan talaq terkesan dihalangi. Itu pertanda bahwa Islam menghendaki bahwa suatu perkawinan hanya dilaksanakan sekali selama hidup

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.        Monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal, artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
2.        Poligami atau paling tepatnya poligini, ada di setiap zaman. Sebelum Nabi Muhammad tampil ke muka bumi. Poligami ini telah di lakukan oleh orang-orang Arab, orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan bangsa-bangsa lainnya di Dunia
3.        Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya poligami antara lain: Faktor biologis, faktor internal rumah tangga dan faktor  sosial.
4.        Perbedaan pendapat tentang permasalahan poligami
5.        Dalam poligami ada beberapa hikmah yang tekandung di dalamnya, selain itu, dalam poligami juga ada dampak nigativnya
6.        Talak diambil dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau irsal (memutuskan) atau tarkun(meninggalkan), firaaqun (perpisahan). Yang dimaksud talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafazh talak atau sebangsanya.
7.        Dalam istilah fiqih, perkataan talaq mempunyai dua arti yaitu arti yamg sudah umum dan arti yang khusus. Talaq menurut arti yang umum ialah segala bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalkan salah satu pihak. Talaq dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami.
8.        Perbedaan pendapat ulama tentang hokum talak
9.        Rukun talak ada tiga , yaitu orang yang mentalak (suami), shighat/lafadz talak dan orng yang di talak(istri)
10.    Talak hanya boleh dijatuhkan kalau memang sangat diperlukan dan merupakan satu-satunya solusi. Itupun setelah melalui usaha-usaha internal maupun eksternal dengan melibatkan hakamain


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Kuzari, 1995. Nikah Sebagai Perikatan . Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Yusuf Wibisono, 1980 Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa. Jakarta: Bulan Bintang.
Musfir Aj-Jahrani, 1997 Poligami Dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Abu Fikri. 2007 Poligami Yang Tidak Melukai Hati?. Bandung: Mizan.
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahab Sayyaed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah
Amir Syarifudin 2007 Hukum Perkewainan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media


[1] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 159
[2] Yusuf Wibisono, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 47.
[3] Musfir Aj-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press. 1997), h. 32.
[4] Ibid 33-36
[5] Abu Fikri, Poligami Yang Tidak Melukai Hati? (Bandung: Mizan.2007), h. 68-71
[6] Abdul Aziz, dkk,  Fiqh Munakahat. (Jakarta: Amzah, 2009) h.255.
[7] Amir Syarifudin, Hukum Perkewainan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media, 2007) h.199


DOWNLOAD MAKALAHNYA DISINI




loading...

Share this

0 Comment to "Makalah Hukum Monogami, Poligami dan Perceraian Dalam Islam"

Post a Comment